Pages

Kamis, 13 Mei 2010

Sulitnya Beli Buku

oleh: khorij

Kampanye baca dan mencintai buku telah didengungkan sejumlah khalayak. Komunitas, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), perusahaan, termasuk pemerintah juga tak tertinggalkan.
Berbagai cara dan langkah dilakukan untuk meningkatkan stimulus gemar membaca. Perpustakaan di sekolah maupun pemerintah dengan ribuan bukunya yang berjejer rapi. Sejumlah poster, slogan dan spanduk ajakan membaca juga bertebaran.
Buletin dan majalah yang dicetak juga tidak henti memerangai penyakit malas membaca. Tulisan dan opini di surat kabar juga tiada henti membangun persepsi kesadaran pentingnya membaca.
Aroma gemar membaca juga dimulai di Bojongoro yang telah menyelenggarakan pameran buku. Bukan sekali, tapi kali ketiga dalam dua bulan terakhir pameran buku dihelat.
Sasarannya merupakan semua khalayak, tanpa memandang batas umur. Namun, antusiasme membidik kalangan pemuda, pelajar, akademisi atau mahasiswa. Agar mereka lebih melek.
Langkah diatas seakan paradok, sebab belum kunjung berhasil membangkitkan gemar membaca? Terlihat, khalayak masih jauh menjadikan membaca sebagai kebutuhan.
****

Saya sendiri, selaku khalayak menyadari bahwa buku atau dengan membaca memiliki arti penting. Slogan buku sebagai jendela dunia, tak dapat saya pungkiri filosofinya. Sebab
dengan buku dapat menambah informasi, membangun kesadaran, berkepribadian baik, tak amoral, memperluas pengetahuan, tidak ketinggalan jaman dan menghindarkan neraka.
Dengan buku dapat menghasilkan inovasi teknologi dengan sejumlah pirantinya. Riset dan penelitian ilmiah. Patut profesor, doktor, magister dan sarjana membalas budi adanya buku. Tanpa buku dan ilmu, manusia benar-benar buta.
Saya memiliki teman, ia bergumam saat datang ke sebuah pameran buku. Dia bertanya, ‘’Kenapa buku harganya mahal, setinggi upah yang saya terima tiap hari? Pertanyaan teman saya membuat saya terkejut.
Memang rata-rata harga buku saat ini pada kisaran diatas 50 ribu. Apalagi dengan penerbit terkenal, harga pun semakin melangit. Apabila dikurskan dengan gaji setiap hari berdasarkan UMK, maka tak dapat menjangkau harga tersebut. Akibat problem sosial ini, teman saya tidak jadi membeli buku.
Padahal ia menganggap buku yang ia minati tersebut memberikan kontribusi besar. Kontribusi pengetahuan dan menambah kinerja di bidangnya. Mungkin, permasalahan yang dirasakan teman saya ini, sama yang dialami sejumlah khalayak. Sehingga mereka urung membeli buku.
Mereka terpaksa mengubur pengetahuan hanya gara-gara ”terkendala”. Meniru perkataan yang lagi hangat, ”Orang Miskin Dilarang Membaca”.
Harga buku mahal ini tidak terlepas dari pihak tertentu meraup keuntungan. Mereka menjadikan buku sebagai komoditi. Maklum, di alam kapitalisme ini, semua hal dikurskan dengan uang, tanpa mengindahkan efeknya.
Faktanya, penerbit gila-gilaan mencetak buku untuk didistribusikan. Sementara penulis hanya mendapat upeti dari sang penerbit. Bahkan keuntungan penerbit lebih besar daripada penulis yang telah membuang keringat dari hasil karyanya. Semakin laris buku terjual, semakin banyak keuntungan yang didapat penerbit. Hanya penulis yang terkategori best seller saja yang mendapat hasil banyak. Namun tetap penerbit lebih banyak diuntungkan.
Saya pernah membaca literatur buku ke-Islaman yang membuat hati tersenyum. Tepatnya saat bani Abbasiyah semasa Khalifah Al Makmun. Saat itu pemerintah menghargai hasil karya penulis setinggi-tingginya. Harga buku saat itu dinilai setara dengan emas.
Atas nama pemerintah, Hunain bin Ishak mendapat emas seberat buku-buku yang ia tulis. Semakin tebal buku yang ditulis, semakin banyak emas yang ia peroleh. Buku tersebut kemudian dipasarkan dengan gratis atau harganya minimal sekadar mengganti ongkos cetak.
Sedangkan penulisnya tidak lagi menerima bayaran atau royalti dari penerbit. Sebab penghargaan dari pemerintah kepada penulis dianggap sudah cukup. Semua orang bebas menyebarkan buku tersebut.
Sehingga tidak akan ada penulis atau penerbit yang merasa dirugikan karena konsumen menggandakan atau mengcopi tanpa seizin mereka. Bahkan sebaliknya, mereka akan sangat mendorong setiap orang untuk menyebarkan buku. Termasuk merangsang untuk menjadi penulis.
Tidak ada orang yang berteriak menuntut ganti rugi karena bukunya disalin atau digandakan tanpa seizinnya. Berbeda saat ini, mengcopi atau menggandakan buku dapat terancam dengan hukuman berat. Faktanya, dibalik sampul buku, terdapat ancaman pidana denda dan penjara dari penerbit bagi orang yang menggandakan buku.
Alasannya adalah hak cipta, padahal intinya ia berteriak karena dirugikan secara materi. Hal ini sangat biasa di alam Kapitalisme karena memang segala sesuatu selalu dinilai secara materi. Meskipun hak cipta didengungkan di alam Kapitalisme, nasib pengarang tetap saja merana tanpa ada perlindungan sama sekali. Hanya segelintir pengarang yang karyanya best seller saja yang hidup layak. Itu pun juga tidak terlepas dari potongan pajak ini-itu.
Ironisnya saat ini kemolekan tubuh lebih dihargai daripada ilmu pengetahuan. Nasib penulis, penerjemah dan ilmuwan berbeda jauh dengan profesi artis, selebritis, foto model dan pemusik. Mereka lebih terkenal dengan artis daripada penulis yang telah memeras keringat demi kemajuan bangsa.
Mungkin ini salah satu indikator yang menyebabkan khalayak masih enggan untuk membaca. Buku mahal, dan dilarang memfotocopi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar