Pages

Jumat, 30 April 2010

Kedungmaor, Air Terjun Belum Tersentuh

Bojonegoro memang bukan kota pariwisata, tetapi sebenarnya menyimpan sejumlah objek wisata yang diandalkan. Salah satunya objek wisata sumberan berupa air terjun Kedungmaor yang berada di hutan BKPH Temayang, tepatnya di Dusun Gunungjeblong Desa Kedungsari Kecamatan Temayang.
Air terjun Kedungmaor ini begitu sensasional, karena merupakan objek wisata yang tercipta secara alami. Sebab bukan sebuah kawasan wisata buatan manusia. Begitu pula landscape-nya berada di tengah hutan yang menandakan kawasan alami bebas polusi. Begitu pula kawasan wisata ini juga tidak ada yang mengetahui asal-usulnya.
Wisata Kedungmaor merupakan aliran sungai yang terdapat cekungan muara. Sehingga aliran tersebut jatuh ke cekungan dan menandakan sebuah air terjun yang deras. Letaknya di tengah hutan dengan luas cekungan sekitar 30 meter. Sementara ketinggian air terjun jatuh ke cekungan tersebut sekitar 10 meter. Tetapi hingga saat ini terkait kedalaman dari cekungan muara tersebut belum ditemukan. Sebab warga tidak pernah bisa mengukur kedalamannya.
’’Kalau dalamnya tidak dapat memastikan,” kata Kades Kedungsari M Alamudi kepada Radar Bojonegoro.
Informasi yang dieproleh di lapangan, warga pernah mengukurnya menggunakan tali tampar yang panjang. Bahkan tali tampar sudah disambungpun belum juga sampai ke dasar cekungan tersebut.
M Alamudi mengatakan menurut cerita dari nenek moyang, kedalaman Kedungmaor tersebut menghubungkan sungai bawah tanah. Sehingga sejauh ini belum ada satu orang pun yang mengetahui kedalamannya.
Wisata Kedungmaor tersebut berupa air terjun dan aliran sungai yang deras. Di tepi aliran tersebut berupa sedimen batu yang mengeras. Termasuk sekeliling dari cekungan tersebut berupa bebatuan. Atau seperti gunung yang yang terdapat cekungan besar. Namun bebatuan di sekelilingnya ini cukup menawan, karena menandakan natural. Apalagi diberbagai sudut bebatuan tersebut menglir air yang menetes kendati intensitasnya kecil.
Alami dari suasanya ini karena berada di tempat yang sejuk. Dengan dihimpit beragam pepohonan besar. Lokasinya jauh dari pemukiman, sehingga cocok untuk pernapasan karena tanpa polusi. Apalagi terdengar sahut-menyahut kicauan beragam burung hutan yang berada di ranting pepohonan.
Dari jauh tidak terlihat sama sekali adanya wisata air terjun di Kedungmaor tersebut. Karena lokasinya tertutup dengan beragam pepohonan dengan ukuran besar. Namun berjarak 50 meter, bakal terdengar suara air yang keras yang menandakan air terjun, karena alirannya cukup deras.
Panorama wisata Kedungmaor ini lokasinya berada di tengah hutan. Sehingga jauh dari rumah warga setempat, dengan pemukiman berjarak sekitar tiga kilometer. Untuk dapat melihat keindahan panorama hutan dengan air terjun ini harus membuang keringat. Lokasi jalan poros desa tersebut masih makadam bebatuan dan membahayakan. Kanan kiri terdapat kawasan hutan jati yang rimbun.
Menyenangkan saat melewati jalan yang dihimpit dengan gunung kendati tidak tinggi. Suasananya dingin dan angin yang sepoi-sepoi. Tetapi untuk sampai ke lokasi tidak dapat sepenuhnya membawa kendaraan. Sebab harus memakirnya dan menempuh jalan kaki sekitar 500 meter. Apalagi kondisinya menanjak dengan berbelok-belok dan melewati sejumlah pohon dengan ukuran besar. Lebih membahayakan saat musim hujan tiba, karena tanahnya licin dan takut terpeleset.
Sulitnya jalur untuk menuju ke lokasi tersebut, menandakan kawasan yang belum tersentuh sama sekali. Bahkan kemungkinan besar, kebanyakan masyarakat Bojonegoro belum mengetahui objek wisata ini. Padahal, apabila mendapat simpati dari pemerintah setempat, wisata ini menjadi satu-satunya air terjun yang ada di Kota ledre. Bahkan bisa menjadi ikon kota ledre.
M Alamudi mengatakan sejak dulu area menuju ke lokasi belum berubah. Karena tidak ada rencana dari pihak terkait untuk berupaya menggarapnya. Akibatnya kawasan tersebut jarang dikunjungi oleh sejumlah masyarakat. Bahkan jarang juga pihak terkait yang menggunakan untuk berkemah.
Padahal kawasan Kedungmaor yang berada di tengah hutan ini cocok sebagai tempat perkemahan. Atau outbond, karena lingkungan kawasan ini mendukung. ’’Pernah ada yang kemah tapi jarang,” kata Alamaudi.
Namun justru Kedungmaor bukan terkenal sebagai kawasan objek wisata. Namun kebanyakan masyarakat mengenalnya sebagai tempat untuk melakukan acara ritual adat. Sebab, banyak warga dan masyarakat luas mengenal Kedungmaor sebagai tempat melakukan acara sesaji.
Sebab banyak masyarakat dari berbagai tempat melakukan ralung sesaji di lokasi tersebut. Bukan hanya dari masyarakat Jawa, bahkan kerap juga orang keturunan Cina melakukan acara adat tersebut sebagai upaya menolak balak.
Kegiatan larung sesaji itu, sudah menjadi tradisi tahunan warga setempat. Larung saji dipercaya warga dapat membuang sial dan menambah rezeki masyarakat. Sehingga, warga tidak berani meninggalkan kegiatan yang sudah dilakukan turun temurun ini. Sementara warga yang datang adalah para ibu-ibu dengan membawa sesaji berupa ubo rampe, seperti nasi bucu lengkap dengan ayam panggang, mie, dan beberapa lauk lainnya. Sesaji ditempatkan di sebuah wadah ember yang dibungkus dengan taplak meja.
Warga juga membawa menyan atau dupa, uang ribuan, dan kembang setaman. Sesaji ditempatkan di bawah pohon rindang di sekitar lokasi Kedung Amor.
Satilah, 61, warga Desa Kedungsari mengakui kerap melakukan larung sesaji bertepatan dengan Jum’at pahing. ’’Kebanyakan warga ke Kedungmaor untuk meminta nadzar dan meminta agar berhasil panen,” katanya.
Lebih meriah saat bertepatan dengan Jum’at pahing di bulan Suro (kalender Jawa). Sebab kebanyakan warga Desa Kedungsari mendatangi ke Kedungmaor seraya membawa sejumlah Ubo rampe. ‘’Yang datang ke kedungmaor bukan hanya dari orang Jawa, tetapi orang Cina juga kerap mendatangi ke lokasi untuk meminta sesuatu. Bahkan ada pula yang mendatangi saat malam hari,” kata Satilah saat ditemui di dekat Kedungmaor tersebut.
Usai berdoa, sesaji yang dibawa, khususnya nasi beserta lauknya langsung dimakan bersama-sama. Namun untuk bagian kepala, sayap dan kaki ayam dibiarkan dan selanjutnya dilempar ke cekungan muara air terjun yang ada. Sementara beberapa pemuda dan warga setempat tampak berebut mendapatkan bagian ayam yang tersisa. Termasuk bagian ayam yang dilarung.

Kedungmaor, Air Terjun Belum Tersentuh

Bojonegoro memang bukan kota pariwisata, tetapi sebenarnya menyimpan sejumlah objek wisata yang diandalkan. Salah satunya objek wisata sumberan berupa air terjun Kedungmaor yang berada di hutan BKPH Temayang, tepatnya di Dusun Gunungjeblong Desa Kedungsari Kecamatan Temayang.
Air terjun Kedungmaor ini begitu sensasional, karena merupakan objek wisata yang tercipta secara alami. Sebab bukan sebuah kawasan wisata buatan manusia. Begitu pula landscape-nya berada di tengah hutan yang menandakan kawasan alami bebas polusi. Begitu pula kawasan wisata ini juga tidak ada yang mengetahui asal-usulnya.
Wisata Kedungmaor merupakan aliran sungai yang terdapat cekungan muara. Sehingga aliran tersebut jatuh ke cekungan dan menandakan sebuah air terjun yang deras. Letaknya di tengah hutan dengan luas cekungan sekitar 30 meter. Sementara ketinggian air terjun jatuh ke cekungan tersebut sekitar 10 meter. Tetapi hingga saat ini terkait kedalaman dari cekungan muara tersebut belum ditemukan. Sebab warga tidak pernah bisa mengukur kedalamannya.
’’Kalau dalamnya tidak dapat memastikan,” kata Kades Kedungsari M Alamudi kepada Radar Bojonegoro.
Informasi yang dieproleh di lapangan, warga pernah mengukurnya menggunakan tali tampar yang panjang. Bahkan tali tampar sudah disambungpun belum juga sampai ke dasar cekungan tersebut.
M Alamudi mengatakan menurut cerita dari nenek moyang, kedalaman Kedungmaor tersebut menghubungkan sungai bawah tanah. Sehingga sejauh ini belum ada satu orang pun yang mengetahui kedalamannya.
Wisata Kedungmaor tersebut berupa air terjun dan aliran sungai yang deras. Di tepi aliran tersebut berupa sedimen batu yang mengeras. Termasuk sekeliling dari cekungan tersebut berupa bebatuan. Atau seperti gunung yang yang terdapat cekungan besar. Namun bebatuan di sekelilingnya ini cukup menawan, karena menandakan natural. Apalagi diberbagai sudut bebatuan tersebut menglir air yang menetes kendati intensitasnya kecil.
Alami dari suasanya ini karena berada di tempat yang sejuk. Dengan dihimpit beragam pepohonan besar. Lokasinya jauh dari pemukiman, sehingga cocok untuk pernapasan karena tanpa polusi. Apalagi terdengar sahut-menyahut kicauan beragam burung hutan yang berada di ranting pepohonan.
Dari jauh tidak terlihat sama sekali adanya wisata air terjun di Kedungmaor tersebut. Karena lokasinya tertutup dengan beragam pepohonan dengan ukuran besar. Namun berjarak 50 meter, bakal terdengar suara air yang keras yang menandakan air terjun, karena alirannya cukup deras.
Panorama wisata Kedungmaor ini lokasinya berada di tengah hutan. Sehingga jauh dari rumah warga setempat, dengan pemukiman berjarak sekitar tiga kilometer. Untuk dapat melihat keindahan panorama hutan dengan air terjun ini harus membuang keringat. Lokasi jalan poros desa tersebut masih makadam bebatuan dan membahayakan. Kanan kiri terdapat kawasan hutan jati yang rimbun.
Menyenangkan saat melewati jalan yang dihimpit dengan gunung kendati tidak tinggi. Suasananya dingin dan angin yang sepoi-sepoi. Tetapi untuk sampai ke lokasi tidak dapat sepenuhnya membawa kendaraan. Sebab harus memakirnya dan menempuh jalan kaki sekitar 500 meter. Apalagi kondisinya menanjak dengan berbelok-belok dan melewati sejumlah pohon dengan ukuran besar. Lebih membahayakan saat musim hujan tiba, karena tanahnya licin dan takut terpeleset.
Sulitnya jalur untuk menuju ke lokasi tersebut, menandakan kawasan yang belum tersentuh sama sekali. Bahkan kemungkinan besar, kebanyakan masyarakat Bojonegoro belum mengetahui objek wisata ini. Padahal, apabila mendapat simpati dari pemerintah setempat, wisata ini menjadi satu-satunya air terjun yang ada di Kota ledre. Bahkan bisa menjadi ikon kota ledre.
M Alamudi mengatakan sejak dulu area menuju ke lokasi belum berubah. Karena tidak ada rencana dari pihak terkait untuk berupaya menggarapnya. Akibatnya kawasan tersebut jarang dikunjungi oleh sejumlah masyarakat. Bahkan jarang juga pihak terkait yang menggunakan untuk berkemah.
Padahal kawasan Kedungmaor yang berada di tengah hutan ini cocok sebagai tempat perkemahan. Atau outbond, karena lingkungan kawasan ini mendukung. ’’Pernah ada yang kemah tapi jarang,” kata Alamaudi.
Namun justru Kedungmaor bukan terkenal sebagai kawasan objek wisata. Namun kebanyakan masyarakat mengenalnya sebagai tempat untuk melakukan acara ritual adat. Sebab, banyak warga dan masyarakat luas mengenal Kedungmaor sebagai tempat melakukan acara sesaji.
Sebab banyak masyarakat dari berbagai tempat melakukan ralung sesaji di lokasi tersebut. Bukan hanya dari masyarakat Jawa, bahkan kerap juga orang keturunan Cina melakukan acara adat tersebut sebagai upaya menolak balak.
Kegiatan larung sesaji itu, sudah menjadi tradisi tahunan warga setempat. Larung saji dipercaya warga dapat membuang sial dan menambah rezeki masyarakat. Sehingga, warga tidak berani meninggalkan kegiatan yang sudah dilakukan turun temurun ini. Sementara warga yang datang adalah para ibu-ibu dengan membawa sesaji berupa ubo rampe, seperti nasi bucu lengkap dengan ayam panggang, mie, dan beberapa lauk lainnya. Sesaji ditempatkan di sebuah wadah ember yang dibungkus dengan taplak meja.
Warga juga membawa menyan atau dupa, uang ribuan, dan kembang setaman. Sesaji ditempatkan di bawah pohon rindang di sekitar lokasi Kedung Amor.
Satilah, 61, warga Desa Kedungsari mengakui kerap melakukan larung sesaji bertepatan dengan Jum’at pahing. ’’Kebanyakan warga ke Kedungmaor untuk meminta nadzar dan meminta agar berhasil panen,” katanya.
Lebih meriah saat bertepatan dengan Jum’at pahing di bulan Suro (kalender Jawa). Sebab kebanyakan warga Desa Kedungsari mendatangi ke Kedungmaor seraya membawa sejumlah Ubo rampe. ‘’Yang datang ke kedungmaor bukan hanya dari orang Jawa, tetapi orang Cina juga kerap mendatangi ke lokasi untuk meminta sesuatu. Bahkan ada pula yang mendatangi saat malam hari,” kata Satilah saat ditemui di dekat Kedungmaor tersebut.
Usai berdoa, sesaji yang dibawa, khususnya nasi beserta lauknya langsung dimakan bersama-sama. Namun untuk bagian kepala, sayap dan kaki ayam dibiarkan dan selanjutnya dilempar ke cekungan muara air terjun yang ada. Sementara beberapa pemuda dan warga setempat tampak berebut mendapatkan bagian ayam yang tersisa. Termasuk bagian ayam yang dilarung.

Menengok Perajin Gerabah di Bojonegoro

warisan Nenek Moyang Mulai Ditinggalkan, Hanya Menyisakan 50 Perajin

Profesi sebagai perajin gerabah, sekian tahun semakin susut. Padahal, di Dusun Karuk Desa Rendeng Kecamatan Malo terkenal dengan pemukiman kerajinan gerabah. Kendati perajinnya susut, tetapi hasil pemasaran masih dibutuhkan beberapa kota di Jawa. Kini, warga setempat masih memertahankan, karena sebagai lapang penghasilan.

Memakan waktu sekitar 45 menit dari pusat kota Bojonegoro, Dusun Karuk Desa Rendeng Kecamatan Malo dapat dilihat. Letaknya berada di pinggiran aliran Sungai Bengawan Solo, serta ditopang dataran tinggi yang menggunung penuh dengan hamparan pohon jati.
Dari kecamatan Malo jaraknya satu meter. Tetapi untuk menemukan pusat penghasil gerabah ini harus bersabar. Sebab, kondisi jalannya belum terkena olesan aspal atau hanya bebatuan. Sehingga saat melewatinya, hamburan debu membuat suasana tidak nyaman, terutama untuk penglihatan.

Jalan yang lebarnya hanya lima meter ini di ruas kanan dan kiri terdapat rumah Joglo khas Jawa berjejer. Dari sudut rumah, terdapat beberapa laki-laki dan wanita berada di pelataran sembari memegang patung hewan. Terdapat orang sibuk meliuk-liuk patung dengan diolesi menggunakan kuas untuk dihias. Satu orang memegang kuas cat hitam, ada juga yang mengolesi cat merah. Namun, ada juga yang sibuk memperbaiki beberapa bentuk patung hewan yang rusak.

Desa Rendeng merupakan penghasil gerabah motif celengan (tempat menaruh uang,red) bukan yang lain. Dengan bentuk patung hewan seperti, gajah; Bebek; harimau; Zebra; dan kucing. Ukurannya juga hampir sepadan dengan bentuk aslinya. Namun, untuk Gajah dan Zebra ukurannya lebih kecil daripada hewan aslinya.

Dulu desa tersebut terkenal dengan sentra gerabah, namun lambat laun profesi kerajinan ini mulai ditinggalkan. ‘’Dulu hampir semua rumah berprofesi sebagai perajin gerabah, namun kini hanya menyisakan sekitar 50 perajin,” kata Sarmidi, 40, salah satu perajin gerabah di desa tersebut.

Menurut pria berkumis ini, kerajinan gerabah di desa tersebut merupakan peninggalan dari nenek moyang. Bahkan dirinya tidak mengetahui sejak kapan kerajinan gerabah ini mulai dilakukan. Sebab, dirinya belum sampai usia 10 tahun sudah memeras dan memijat tanah liat untuk dibentuk gerabah. ‘’Kalau kepastian tahun pasti tidak tahu, yang pasti buyut saya sudah berprofesi sebagai perajin gerabah,” katanya sembari mengecat gerabah dengan cat hitam saat ditemui di depan rumahnya.

Sarmidi menjelaskan atas teknis pembuatan gerabah ini, mulai dari proses pembuatannya yang bercampur dengan tanah liat dengan pasir dan air. Serta saat membentuknya, mengeringkan, membakarnya, dan terakhir menghiasnya. Untuk mempercantik gerabah tersebut dapat dicat warna-warni, dianyam, dan dilukis. ‘’Walau tanpa semen, tapi tanah liat ini dapat dibentuk,” ungkapnya.

Lanjutnya, karena peninggalan nenek moyang, otomatis kerajinan gerabah menjadi tulang punggung masyarakat di dua Dusun yakni Karuk dan Rendeng.


Iskak, 45, pemilik usaha Gerabah di Desa Rendeng mengungkapkan, kini perajin gerabah hanya menyisakan di dusun Karuk. Padahal, dulunya di dusun/Desa Rendeng juga banyak. ‘’Menurunnya jumlah perajin karena penghasilan tipis, dan tergiur kerja di kota besar,” tambahnya. Lanjutnya, belum lagi banyaknya produsen pembuat celengan yang terbuat dari bahan kimia.

Kendati mulai banyak ditinggalkan warga, tetapi desa tersebut masih menjadi pusat gerabah bentuk celengan. Sebab, dari desa yang tandus ini juga menyuplai permintaan gerabah hingga luar kota. ‘’Kalau saya sebulan dua kali menyuplai ke Pasuruan, Probolinggo, Bondowoso hingga ke Banyuwangi,” kata Iskak.
Menurutnya, dirinya pernah menyuplai hingga ke Bali. Tetapi karena terkena isu bom di pulau dewata tersebut, akhirnya permintaannya redup. ‘’Intinya semua kota di Jatim disuplai dari Bojonegoro, bahkan ada perajin lain yang mengirim hingga ke Jateng dan Jabar,’ tambahnya.

Menurut Iskak, gerabah ini beragam harganya tergantung ukurannya. ‘’Untuk gerabah yang tingginya hingga 60 centimeter harga pasarannya mencapai Rp 75 ribu, dan terkecil dengan harga Rp 15 ribu,” kata pria asli desa tersebut.
Iskak menegaskan, kendati mulai menurun jumlah perajin, tetapi dirinya optimis untuk tetap memertahankannya. Sebab, semenjak duduk di tingkat SD hingga saat ini, kerajinan gerabah menjadi tulang punggungnya. Bahkan atas usahanya mampu memperkerjakan lima orang perajin.

Wisata minimalis, Hilangkan Penat

Dikatakan dengan salak wedi, karena seiring dengan lokasi salak tersebut berada di Desa Wedi Kecamatan Kapas, kabupaten Bojonegoro, jawa timur. Selain salak wedi, masyarakat setempat juga mengenalnya dengan salak lokal.

Salak wedi masuk varietas kebo dan penjalinan. Disebut kebo karena warnanya yang hitam dan agak cokelat. Sedangkan disebut penjalinan karena warnanya mirip penjalin cokelat muda dan tua. Salak Wedi, dikenal punya ciri khas rasa. Yaitu, asam, manis, sepet dan masir (jika dikunyah seperti ada pasir).

Menuju ke kawasan salak wedi tentunya mudah, dari kota hanya berjarak sekitar enam kilometer (km). Apalagi dari gapura pintu masuk kota Bojonegoro arah Surabaya, lokasinya tidak jauh. Lokasinya berada di jalan poros desa, kendati jalannya tidak terlalu lebar, tetapi mulus untuk dilewati.

Sebelum masuk di desa wedi, terlebih dahulu melewati desa kalianyar kecamatan Kapas. Kendati bukan pusat pohon salak, tetapi di desa Kalianyar ini juga dapat ditemukan berbagai pohon salak di sepanjang jalan, atau berada di sekitar rumah warga. Namun, jumlahnya tidak sebanding dengan desa wedi.

Sesampai di Desa Wedi, selain berjejernya pohon salak. Juga setiap pagi di musim panen ini terdapat penjual salak yang berada di pinggir jalan, bahkan berada di depan rumah-rumah warga. Dan jumlah penjual yang menawarkan buah ini jumlahnya tidak sedikit.

Selain kawasan salak, di desa tersebut juga terdapat tempat wisata. Tetapi, masih dikelola secara pribadi oleh warga setempat. Sehingga pengelolaannya belum maksimal untuk dijadikan sebagai tempat wisata sebagai melepas penat pengunjung. Namanya Wisata Toyo Aji, salah satu tempat refresing di tengah kebun salak.
Tempat wisata ini seluas empat hektar, di dalamnya terdapat pohon salak yang rimbun dan berbuah yang mengelilinginya. Juga waduk kecil berisi air sebagai kolam pancing pengunjung. Sehingga pengunjung bisa mancing dipinggir kolam dengan angin sepoi-sepoi sekaligus mencicipi buah salak wedi yang memiliki rasa asam, manis, sepet dan masir.

Melepas penat dengan keluarga juga dapat terobati di wisata ini. Sebab, selain lokasinya luas, juga terdapat fasilitas yang sekiranya dapat menunjang. Ada gubuk di sepanjang kolam ikan sebagai tempat santai. Terdapat pula hewan yang dilindungi untuk ditonton. ‘’ada juga buah salak siap makan dengan memetiknya langsung,” kata Lazim salah satu pengelola di kawasan wisata Toyo Aji.
Menurut Iskak salah satu warga setempat, di wisata ini juga menyewakan losmen sebagai tempat tinggal sementara untuk liburan bersama sekeluarga. Walaupun terbatas, tetapi huniannya cukup menyegarkan. Sebab dikelilingi oleh pohon salak yang rimbun. Dan bentangan sawah, begitu pula dapat menikmati sarana kolam pancing di tengah lokasi.

Strategisnya dan nyamannya lokasi membuat tempat wisata ini dilirik sebagian warga setempat. Namun kebanyakan memanfaatkan wisata ini untuk digunakan sebagai tempat pertemuan (meeting).

Dari wisata seluas empat hektar ini didalamnya juga terdapat ruang pertemuan. Bahkan juga disiapkan ruang meeting yang lokasinya secara terbuka berdekatan dengan rimbunan pohon salak. ‘’Sering digunakan kegiatan pelatihan organisasi baik pemerintah maupun non,” kata ketua kelompok tani di Desa Wedi ini.
Kendati masih minimalis, tetapi kawasan desa Wedi bisa digunakan sebagai alternatif untuk menghilangkan penat usai sepekan beraktivtas. Apalagi lokasinya tidak jauh dari kawasan perkotaan. Dari kota menuju ke kawasan wisata ini hanya membutuhkan waktu sekitar 20 menit. Namun, untuk menuju ke wisata ini belum disediakan transportasi khusus dari kota. Jadi lebih nyaman menggunakan kendaraan pribadi.

Jumat, 02 April 2010

hujan ini bukan hujan biasa
hujan ini memberi berkah pada sesama
sampai angin dan kilat saling mendahului untuk dapat menemani hujan ini
2 buah pohon pisang tumbang
air diselokan meluber
dan jalan pun tergenang

inilah hujan
hujan ini bukan hujan biasa