Perbedaan adalah rahmat
Pernah tidak anda berfikir mengapa kita diciptakan penuh dengan perbedaan ? Seperti ada yang gemuk, ada yang kurus, ada yang tinggi, ada yang pendek, ada yang kaya, ada yang miskin, ada yang cacat, dan masih banyak lagi perbedaan-perbedaan yang diciptakan oleh Allah SWT. Mengapa semua itu terjadi ?
Percaya tidak kalau Allah menciptakan semua perbedaan itu untuk dijadikan sebagai rahmat yang amat besar di atas dunia ini. Bagaimana tidak ? Coba bayangkan kalau bentuk, sikap, dan semua yang ada di dunia ini diciptakan Allah sama semua rupanya ! Tentu saja hal itu sangat tidak menarik dan sangat tidak enak. Karna perbedaan itulah yang membuat kita lebih bersatu. Seperti semboyan yang ada di burung garuda pancasila yaitu Bhinneka Tunggal Ika yang artinya walaupun berbeda tapi tetap satu.
Allah menyuruh kita begitu karna semua yang diciptakan Allah itu tidak sia-sia. Seperti firman Allah pada Surat Sad ayat 27 :
وماخلقناالسماء و الارض و مابينهماباطلا
Artinya : Dan tidak Aku ciptakan langit, bumi, dan yang berada di antara keduanya dengan sia-sia……
Tapi tentu semua rahmat yang diberikan Allah tersebut harus kita syukuri dan apabila kita tidak mensyukurinya kita akan disebut kufur nikmat.
Untuk memikirkan semua hal yang diberikan Allah tersebut tentu kita harus selalu menuntut ilmu. Karena tidak mungkin tanpa ilmu kita bisa menyimpulkan semua itu.
Kita disuruh Allah untuk menuntut ilmu sampai akhir hayat kita. Karena ilmu itu tidak akan pernah ada habisnya. Makanya dari sekaranglah menuntut ilmu sebelum terlambat karena menuntut ilmu termasuk berjihad di jalan Allah. Itu juga termasuk ibadah apabila menjalankannya dengan ikhlas, dan pahalanya akan lebih banyak lagi kalau ilmu itu kita ajarkan kembali. Karena akan menjadi ilmu yang bermanfaat yang akan menjadi amal jariyah yang pahalanya tidak akan pernah putus.
Ilmu ini sangat gunanya terutama dalam mencapai cita-cita. Dalam mencapai cita-cita ini tentu kita harus berusaha semaksimal mungkin atau berikhtiar, setelah itu baru kita bertawakal pada Allah. Jika kita gagal nantinya kita tidak boleh berputus asa. Karena itu tandanya usaha kita belum maksimal atau memang bukan rezeki kita. Maka dari itu kita harus berusaha lebih keras lagi dan selalu berdoa dan beribadah kepada Allah.
Banyak sekali guna ilmu yang lainnya. Salah satunya seperti pada saat ini banyak sekali penemuan-penemuan baru terutama dalam bidang kesehatan. Misalnya berbagai macam obat yang baru ditemukan. Seiring perkembangan zaman, perkembangan pemikiran manusia tentang ciptaan-ciptaan Allah yang bisa dijadikan obat. Coba anda bandingkan antara obat yang berasal dari alam dengan yang banyak mengandung zat kimia! Obat dari alam tentu saja sudah ada sejak bumi ini diciptakan, sedangkan obat kimia itu baru ditemukan beberapa tahun terakhir ini dengan melalui teknologi yang sangat canggih. Malahan sekarang ini manusia di dunia sudah banyak yang sadar akan bahaya dari obat yang mengandung zat kimia tersebut. Sehingga melakukan BACK TO NATURE yang diakui khasiatnya lebih bagus dari obat-obat kimia tersebut. Contohnya saja obat cina, obat cina ini sudah ditemukan sekitar 5000-an tahun yang lalu dan percobaan khasiat obat langsung dicobakan pada kaisar. Sedangkan obat-obat yang mengandung zat-zat kimia baru ditemukan dan percobaannya hanya dilakukan pada binatang percobaan.
Seperti menemukan obat-obatan tadi tentu diperlukan usaha-usaha. Dalam berusaha pun kita juga harus percaya pada takdir yang akan menentukan bagaimana hasil usaha kita. Takdir itu terbagi 2 :
1. Takdir mu’alaq à takdir yang erat kaitannya dengan ikhtiar manusia
2. Takdir mubram à takdir yang terjadi pada diri manusia dan tidak dapat diusahakan atau ditawar-tawar lagi oleh manusia
Hanya takdir mu’alaq yang bisa dirubah oleh manusia. Dan perubahan itu hanya akan terjadi bila berasal dari diri orang itu sendiri. Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum sampai kaum itu merubah nasibnya sendiri.
Dan kita juga tidak boleh menyalahi takdir, karena semua itu telah masuk ke dalam scenario Allah. Dan jangan lupa untuk selalu berusaha dan bersyukur dalam hidup ini.
Pada akhir dakwah saya, saya ingin mengatakan, for me life is art, because art is abstract like this life. In life if you wanna be success, just be your self and keep honesty. Dan beranilah bermimpi besar, karena mimpi-mimpi itulah yang akan menjadi jejak-jejak dalam hidupmu.
Rabu, 08 Juni 2011
Rabu, 01 Juni 2011
Karena Kamu Adalah Cinta
Aku mencintaimu karena kamu adalah cinta
Cintaku tumbuh di atas bebatuan gunung yang solid. Meskipun keras aku akan berusaha menemukanmu dalam gua rindu. Akar pepohinan selalu mengoyak percumbuan kita, tapi genggaman erat yang selalu merekatkan kejayaan cinta ini.
Cintaku hidup di atas bebatuan karang. Semakin banyak ombak, akan semakin menguatkan rasaku. Erosi air laut pun tak kan berarti jika pelukan kita tak terlepas.
Cintaku hanya sederhana. Seperti bintang yang mencintai kegelapan malam. Seperti bumi yang mencintai matahari dan langitnya. Aku bahagia bisa mencintaimu dalam kesederhanaanku.
Aku mencintaimu karena kamu adalah cinta
Cintaku tumbuh di atas bebatuan gunung yang solid. Meskipun keras aku akan berusaha menemukanmu dalam gua rindu. Akar pepohinan selalu mengoyak percumbuan kita, tapi genggaman erat yang selalu merekatkan kejayaan cinta ini.
Cintaku hidup di atas bebatuan karang. Semakin banyak ombak, akan semakin menguatkan rasaku. Erosi air laut pun tak kan berarti jika pelukan kita tak terlepas.
Cintaku hanya sederhana. Seperti bintang yang mencintai kegelapan malam. Seperti bumi yang mencintai matahari dan langitnya. Aku bahagia bisa mencintaimu dalam kesederhanaanku.
Aku mencintaimu karena kamu adalah cinta
Selasa, 31 Mei 2011
RINDU
Setiap kali bertemu, aku menabung rindu. Rindu pada bulan dan matahari di kanan kiri matamu. Ada berbagai macam warna pelangi di hidungmu. Dan kupu-kupu di bibirmu.
Setiap kali bertemu, aku menabung rindu. Memasrahkan rindu pada jebakan cinta. Terjebak pada peristiwa yang melumatkan asa. Dan pada pertemuan yang melumat raga.
Setiap kali bertemu, aku menabung rindu. Rindu untuk mengaitkan kembali gelas-gelas kita. Menyelaraskan jiwa pada irama raga. Dan memecahkan pelik di dada.
Setiap kali bertemu, aku menabung rindu. Memasrahkan rindu pada jebakan cinta. Terjebak pada peristiwa yang melumatkan asa. Dan pada pertemuan yang melumat raga.
Setiap kali bertemu, aku menabung rindu. Rindu untuk mengaitkan kembali gelas-gelas kita. Menyelaraskan jiwa pada irama raga. Dan memecahkan pelik di dada.
Senin, 28 Maret 2011
Kelu dan Cinta
Desir ini datang terlalu cepat. Bahkan saat aku belum menemukannya. Jangankan menemukannya, berfikir pun belum. Pikiranku terlalu penuh oleh hal-hal lain. Tapi bayanganmu selalu menyembul disela-sela otakku. Rasanya, bayanganmu telah menjadi sebuah sel dalam otakku. Sel abadi, yang tak pernah padam atau hilang.
Aku memandangmu sebagai pintu. Saat pintumu belum terbuka. Aku sudah menunggu. Bahkan menanti. Hanya untuk melihatmu. Hanya melihatmu!! Sudah lebih dimataku.
Daun pintumu saja belum bergerak. Tapi asaku sudah melambung. Terbang dengan sayapnya. Meninggalkanku jauh. Jauh, sejauh radiasi nuklir fukuyama.
Mungkin kau tak pernah melihat keberadaanku. Karena aku hanya sebuah plankton di samudra pasifik. Tenggelam bersama kekerdilanku. Dan bisa saja aku musnah tak tersisa.
Haruskah aku lari menghindari desir ini??. Retoris belaka. Ambigu kata-kata. Hah, dunia ini semakin fana dengan kehidupannya.
Saat asaku terbang, fikiranku terbang dan mereka menangkap satu hal. Satu hal yang mungkin sangat sulit untuk diucapkan. Sampai lidahku kelu. Dalam kekeluan jiwaku, AKU MENCINTAIMU
Aku memandangmu sebagai pintu. Saat pintumu belum terbuka. Aku sudah menunggu. Bahkan menanti. Hanya untuk melihatmu. Hanya melihatmu!! Sudah lebih dimataku.
Daun pintumu saja belum bergerak. Tapi asaku sudah melambung. Terbang dengan sayapnya. Meninggalkanku jauh. Jauh, sejauh radiasi nuklir fukuyama.
Mungkin kau tak pernah melihat keberadaanku. Karena aku hanya sebuah plankton di samudra pasifik. Tenggelam bersama kekerdilanku. Dan bisa saja aku musnah tak tersisa.
Haruskah aku lari menghindari desir ini??. Retoris belaka. Ambigu kata-kata. Hah, dunia ini semakin fana dengan kehidupannya.
Saat asaku terbang, fikiranku terbang dan mereka menangkap satu hal. Satu hal yang mungkin sangat sulit untuk diucapkan. Sampai lidahku kelu. Dalam kekeluan jiwaku, AKU MENCINTAIMU
Rabu, 23 Maret 2011
Aku dan Kamu
Hari-hari semuku telah beranjak
meninggalkan sunyi
Diamku hilang senyum menyerang
Karenamu ..
Kau datang tiba-tiba
Tak memberiku waktu untuk berkata “ya”
Cukup sedikit katamu
Membuatku tergila-gila
Perhatianmu membuat dadaku sesak
Nafas pun seolah tergulung kembali
Dan mata ..
Seakan terpaut dengan matamu
Kau membuatku gila !!!
meninggalkan sunyi
Diamku hilang senyum menyerang
Karenamu ..
Kau datang tiba-tiba
Tak memberiku waktu untuk berkata “ya”
Cukup sedikit katamu
Membuatku tergila-gila
Perhatianmu membuat dadaku sesak
Nafas pun seolah tergulung kembali
Dan mata ..
Seakan terpaut dengan matamu
Kau membuatku gila !!!
Sambutlah sayaa ...
Aku telah lelah berdiri
Ditempat datar dengan sandiwaranya
Aku ingin mendaki
Meski bukan di ketinggian
Jalan menikung mungkin indah
Meski berbatu
Telah cukup aku dalam kediamanku
Dunia telah berubah
Revolusi terus bergulir
Mulut yang diam kini terbuka
Mata sayu jadi membara
Dunia ..
Sambutlah saya
Ditempat datar dengan sandiwaranya
Aku ingin mendaki
Meski bukan di ketinggian
Jalan menikung mungkin indah
Meski berbatu
Telah cukup aku dalam kediamanku
Dunia telah berubah
Revolusi terus bergulir
Mulut yang diam kini terbuka
Mata sayu jadi membara
Dunia ..
Sambutlah saya
Jumat, 14 Januari 2011
DAUN WARU
Matahari bersemu merah di ufuk timur. Menambah manis senyum atun yang memang sudah manis dari orok. Tirai jendela terbuka, menandakan adanya kehidupan bagi sang pemilik. Jemari indah bergerak dengan gaya gemulai namun cekatan mengambil kain berbulu, dan bersiap membersihkan badan. Aroma sabun bunga lili menempel pada tubuhnya, ia terlihat segar dan siap melanjutkan harinya. Tangannya sibuk menyapukan bedak ke wajah, dan bersiap menuju tempat kursus. Atun pun pamit dan menapakkan kakinya di jalanan berbatu sambil sesekali tersenyum ramah pada orang-orang yang mengenalnya.
Sementara itu, Karyo seorang petani yang tengah menuai banyak rezeki akibat melambungnya harga beras sedang sibuk menyiapkan peralatan bersawahnya. Ia memang tergolong pemuda yang ulet dan senang bekerja keras. Sudah sejak lama ia menaruh hati pada Atun tapi ia tidak sedikitpun mempunyai keberanian untuk mengatakannya karena menurut adat, hal percintaan masih dianggap tabu.
Setiap bertemu Atun, kaki Karyo selalu lemas jantungnya berdetak dua kali lebih cepat, suhu tubuhnya naik, kontras dengan telapak tangan dan kakinya yang cenderung dingin. Begitu juga dengan Atun, tapi ia sedikit lebih bisa menguasai dirinya dengan cara menundukkan pandangannya.
Mungkin hukum adat masih ragu terhadap perasaan mereka. Bukan Dewi Amor yang menguasai percintaan di desa ini. Adat, kawan. Ya, hanya hukum adat yang dapat menyatukan dua individu heterogen meskipun mereka tak saling mencintai. Witing tresno jalaran soko kulino. Itulah pedoman mereka.
Matahari mendaki langit hingga berada sejajar dengan ubun-ubun manusia. Atun meninggalkan tempat kursus dan berjalan gontai menuju ke kediamannya. Ia sempat memergoki Karyo yang sedang berjalan meninggalkan serambi rumahnya. Begitu menyadari kehadiran Karyo, Atun langsung menundukan pandangan dan ia hanya bisa menikmati kaki-kaki jenjang Karyo yang diam ditempat. Atun langsung masuk rumah.
“ Tun,, dateng-dateng kok mukanya merah. Kenapa tun? “ tanya Mak Nyak
“ anu Nyak, tadi di jalan panas banget. Muka Atun kena matahari Nyak.”
“ kena panas kok merah Tun.. tun.. “
“ ya udahlah Nyak, Atun mau ganti baju dulu”
“ eh.. Tun. Jangan ganti baju dulu. tolong dong anterin ini ke sawah “
“ bungkusan apa nih Mak? “
“ itu sabit sama camilan buat engkong, pokoknya anterin ini ke sawah ya”
“ ya udah dehh. Atun pamit dulu deh Nyak.“
“ ati-ati Tun. “
Atun meninggalkan rumahnya dan bergerak menuju sawah engkongnya. Jarak antara rumah dan sawah lumayan jauh, hampir satu kilometer. Biasanya Atun naik sepeda jika disuruh Mak Nyak, tapi hari ini Atun terlalu bahagia sejak pertemuannya dengan karyo tadi siang dan jarak yang lumayan jauh itupun dianggap dekat saja olehnya.
Daun-daun yang mengering serasa bersemi kembali, udara yang panas itu malah dianggapnya sebagai kehangatan yang menyelimuti hati. Atun kasmaran. Lagu-lagu cinta keluar begitu saja dari mulut Atun. Semut merah yang menggigit kaki Atun pun malah diambil dan dibelai-belai. Tak tanggung-tanggung, ia memasukkan semut ke dalam sakunya untuk bisa ia rawat begitu sampai dirumah. Itulah cinta.
Atun sengaja memilih jalan yang berada di samping sawah supaya ia bisa menggoda Engkong yang biasanya duduk-duduk di kursi dari bambu dibawah teduhnya pohon waru yang menghiasi pinggiran sawah. Atun mencari-cari sosok manusia bertuan di daerah itu, nihil. Diujung matanya, ia melihat sesosok siluet manusia yang sedang duduk melepas penat. Kakinya terdorong untuk mendekat seakan-akan ia adalah kutub selatan dan siluet itu adalah kutub utara. Cepat dan semakin cepat langkahnya, berbanding lurus dengan kekuatan tarikan antar kutub magnet. Sesosok siluet itu menunduk.
“ kong, nih bungkusan dari Enyak. “
Sosok itu tak menjawab, tapi ia malah mendongakkan kepalanya. Ces, setetes embun jatuh dihati mereka saat kedua pandangan mereka beradu. Pandangan mereka bertahan hampir satu menit dalam kebisuan kata dan gesekan pohon waru yang melatar belakanginya.
“ em,, “ kata mereka bersamaan
“ mas karyo dulu. “
“ eng,, Atun duluan aja. “
“ ya udah, Engkong dimana ya mas? “
“ Engkong udah balik dari tadi Tun. Emang ada apa Tun? “
“ oh, ini ada bungkusan dari Enyak. Kata Enyak isinya sabit dan ada sedikit camilan buat Engkong”
“ sabit?? Itu sabit aku Tun. “
“ oh ini sabit Mas Karyo toh. Ya udah mas,ini sabitnya. Atun mau balik dulu kalau gitu”
“ iya.” Jawab Karyo seadanya akibat otaknya yang masih lemas sejak kedatangan Atun. “ Tun, tadi kan kamu sudah ngomong, sekarang gantian saya yang ngomong. Dengerin ya!! “ Atun hanya bisa diam membisu dan akhirnya menganggukkan kepala, sementara tangan Karyo mulai bergerak melambat dan berasil menggenggam jemari Atun lalu menggiringnya mendekat. “ Tun, sudah sejak lama aku memerhatikan kamu. Dan selama itu, aku sadar satu hal kalau aku,, aku,, tresno marang awakmu tun. “
“ artinya apa Mas? “
“ aku.. aku.. cinta sama kamu tun. Kamu gimana? Ada rasa gak sama aku? “
“ ehm,, aku, sebetulnya aku juga punya rasa sama Mas Karyo. “
Entah angin darimana, yang jelas angin itu seakan merestui percintaan mereka. Ia menggoyangkan pohon waru yang kekar itu agar daun-daunya yang berbentuk hati berguguran tepat diantara mereka. Matahari kekuningan yang menyembul dari awan sebelah barat, mengemaskan guguran daun waru dan wajah mereka yang sedang dimabuk cinta.
“ tapi mas, kita gak bisa bersama mas. “
“ Loh, kenapa gak bisa Tun? “
“ apa Mas lupa kalau di desa ini ada hukum yang masih berlaku? “
“ tapi Tun,, hatiku sudah penuh terisi denganmu Tun. Dengan matamu, senyummu dan semua tentangmu. “
“ Atun gak mau jadi anak durhaka Mas. Atun mau mengabdi sama orangtua Atun saja. “
“ jadi, Atun gak mau sama Mas Karyo? “
“ saya mau sekali. Tapi sekali lagi Atun gak mau buat Enyak marah mas. “
“ ya sudah Tun. Tapi ingat, aku akan selalu mencintaimu. Dan aku akan berusaha semampuku.”
“ saya tunggu mas. “
Mereka saling melepaskan jemari dan saat Atun beranjak pergi, tangan Karyo menarik Atun dengan keras dan menyebabkan bahu mereka bertabrakan dan saling memeluk. Cukup sepuluh detik, lalu mereka pulang dalam kebisuan.
Atun bingung, apakah ia harus senang karena ternyata Karyo juga mencintainya ataukah ia harus bersedih hati karena ternyata ia tidak bisa bersatu dengan Karyo. Bingung. Begitupun dengan Karyo.
Hukum adat mengatakan bahwa dua orang dapat dipersatukan kalau mereka sama-sama lahir pada weton yang sama. Selain itu, antara kedua orang tuanya harus saling memercayai dan dapat menjadi penanggung jawab.
Bebarapa hari terakhir, orang tua Atun terlihat begitu sibuk. Tak ada yang tau apa yang menyibukkan mereka. Sesekali mereka berkasak-kusuk dan perdebatan-perdebatan kecil sering muncul.
Hari itu, orang tua Atun mengadakan sebuah syukuran kecil. Saat Atun bertanya tentang maksud syukuran itu, orang tuanya hanya tersenyum. Saat acara berlangsung, ia baru mengerti kalau acara itu adalah pengumuman calon suami Atun. Disaat-saat seperti inilah ia hanya menginginkan Karyo. Karyo yang dicintai dan mencintainya. Atun tak kuasa mendengar calon laki-laki pendamping hidupnya. Saat pengumuman akan berlangsung, ia berlari sekuat tenaga menuju sawah tempat ia dan Karyo mengutarakan cinta, berharap Karyo ada disana dan bisa menenangkannya. Ternyata Karyo memang berada di tempat yang sama. Anehnya, mereka punya masalah yang sama bahwa pendamping hidup mereka telah ditentukan dan sebentar lagi akan ada ikatan yang dapat memisahkan mereka secara legal.
Hari pertunangan pun tiba, dua calon pengantin akan dipertemukan. Atun semakin tersiksa. Matanya sendu, senyumnya tak lagi semanis rekahan matahari pagi dan batinnya selalu saja ingin menolak takdirnya, tapi ia tak ingin melukai siapapun. Sejak semalam, ia mengurung diri dikamar dengan alasan ia ingin memantapkan diri sebelum ia terikat nanti. Ia merasa bagaikan robot yang semuanya dapat diatur atas nama adat. Ia benci ini.
begitu masuk acara inti, tangannya kian mendingin. sebuah cincin sudah masuk dalam jemari manisnya, namun ia masih saja tak kuasa mendongak melihat calon suaminya. Bahkan saat Atun harus memasukkan cincin ke tangan pria itu, ia terlihat masih ragu.
“ tolong pasangkan cincin itu ke jari manisku. “
Hatinya makin bergejolak, seakan-akan ia mendengar Karyo berbicara padanya. Meminta cincin itu. Ia tak mungkin kabur, karena itu akan semakin membuat malu keluarganya. Ia bingung, sangat bingung.
“ ini Mas Karyo, lihatlah. Dan pasangkan cincin itu. “
Atun mendongakkan kepalanya, dan melihat sosok siluet pria di sawah yang pernah meremas jemarinya. Refleks, ia memeluk pria itu. Menyusupkan kepalanya ke dalam kehangatan dada bidang calon tunangannya.
“ ayolah Tun, cincin itu ditunggu banyak orang. “
Tanpa kata-kata, Atun langsung mendesakkan cincin itu ke dalam jari manis pria tercintanya. Sebuah kecupan mendarat di kening Atun. Merah, kawan. Wajah Atun kian memerah bersama merahnya cinta mereka yang kian hari kian membara.
Sementara itu, Karyo seorang petani yang tengah menuai banyak rezeki akibat melambungnya harga beras sedang sibuk menyiapkan peralatan bersawahnya. Ia memang tergolong pemuda yang ulet dan senang bekerja keras. Sudah sejak lama ia menaruh hati pada Atun tapi ia tidak sedikitpun mempunyai keberanian untuk mengatakannya karena menurut adat, hal percintaan masih dianggap tabu.
Setiap bertemu Atun, kaki Karyo selalu lemas jantungnya berdetak dua kali lebih cepat, suhu tubuhnya naik, kontras dengan telapak tangan dan kakinya yang cenderung dingin. Begitu juga dengan Atun, tapi ia sedikit lebih bisa menguasai dirinya dengan cara menundukkan pandangannya.
Mungkin hukum adat masih ragu terhadap perasaan mereka. Bukan Dewi Amor yang menguasai percintaan di desa ini. Adat, kawan. Ya, hanya hukum adat yang dapat menyatukan dua individu heterogen meskipun mereka tak saling mencintai. Witing tresno jalaran soko kulino. Itulah pedoman mereka.
Matahari mendaki langit hingga berada sejajar dengan ubun-ubun manusia. Atun meninggalkan tempat kursus dan berjalan gontai menuju ke kediamannya. Ia sempat memergoki Karyo yang sedang berjalan meninggalkan serambi rumahnya. Begitu menyadari kehadiran Karyo, Atun langsung menundukan pandangan dan ia hanya bisa menikmati kaki-kaki jenjang Karyo yang diam ditempat. Atun langsung masuk rumah.
“ Tun,, dateng-dateng kok mukanya merah. Kenapa tun? “ tanya Mak Nyak
“ anu Nyak, tadi di jalan panas banget. Muka Atun kena matahari Nyak.”
“ kena panas kok merah Tun.. tun.. “
“ ya udahlah Nyak, Atun mau ganti baju dulu”
“ eh.. Tun. Jangan ganti baju dulu. tolong dong anterin ini ke sawah “
“ bungkusan apa nih Mak? “
“ itu sabit sama camilan buat engkong, pokoknya anterin ini ke sawah ya”
“ ya udah dehh. Atun pamit dulu deh Nyak.“
“ ati-ati Tun. “
Atun meninggalkan rumahnya dan bergerak menuju sawah engkongnya. Jarak antara rumah dan sawah lumayan jauh, hampir satu kilometer. Biasanya Atun naik sepeda jika disuruh Mak Nyak, tapi hari ini Atun terlalu bahagia sejak pertemuannya dengan karyo tadi siang dan jarak yang lumayan jauh itupun dianggap dekat saja olehnya.
Daun-daun yang mengering serasa bersemi kembali, udara yang panas itu malah dianggapnya sebagai kehangatan yang menyelimuti hati. Atun kasmaran. Lagu-lagu cinta keluar begitu saja dari mulut Atun. Semut merah yang menggigit kaki Atun pun malah diambil dan dibelai-belai. Tak tanggung-tanggung, ia memasukkan semut ke dalam sakunya untuk bisa ia rawat begitu sampai dirumah. Itulah cinta.
Atun sengaja memilih jalan yang berada di samping sawah supaya ia bisa menggoda Engkong yang biasanya duduk-duduk di kursi dari bambu dibawah teduhnya pohon waru yang menghiasi pinggiran sawah. Atun mencari-cari sosok manusia bertuan di daerah itu, nihil. Diujung matanya, ia melihat sesosok siluet manusia yang sedang duduk melepas penat. Kakinya terdorong untuk mendekat seakan-akan ia adalah kutub selatan dan siluet itu adalah kutub utara. Cepat dan semakin cepat langkahnya, berbanding lurus dengan kekuatan tarikan antar kutub magnet. Sesosok siluet itu menunduk.
“ kong, nih bungkusan dari Enyak. “
Sosok itu tak menjawab, tapi ia malah mendongakkan kepalanya. Ces, setetes embun jatuh dihati mereka saat kedua pandangan mereka beradu. Pandangan mereka bertahan hampir satu menit dalam kebisuan kata dan gesekan pohon waru yang melatar belakanginya.
“ em,, “ kata mereka bersamaan
“ mas karyo dulu. “
“ eng,, Atun duluan aja. “
“ ya udah, Engkong dimana ya mas? “
“ Engkong udah balik dari tadi Tun. Emang ada apa Tun? “
“ oh, ini ada bungkusan dari Enyak. Kata Enyak isinya sabit dan ada sedikit camilan buat Engkong”
“ sabit?? Itu sabit aku Tun. “
“ oh ini sabit Mas Karyo toh. Ya udah mas,ini sabitnya. Atun mau balik dulu kalau gitu”
“ iya.” Jawab Karyo seadanya akibat otaknya yang masih lemas sejak kedatangan Atun. “ Tun, tadi kan kamu sudah ngomong, sekarang gantian saya yang ngomong. Dengerin ya!! “ Atun hanya bisa diam membisu dan akhirnya menganggukkan kepala, sementara tangan Karyo mulai bergerak melambat dan berasil menggenggam jemari Atun lalu menggiringnya mendekat. “ Tun, sudah sejak lama aku memerhatikan kamu. Dan selama itu, aku sadar satu hal kalau aku,, aku,, tresno marang awakmu tun. “
“ artinya apa Mas? “
“ aku.. aku.. cinta sama kamu tun. Kamu gimana? Ada rasa gak sama aku? “
“ ehm,, aku, sebetulnya aku juga punya rasa sama Mas Karyo. “
Entah angin darimana, yang jelas angin itu seakan merestui percintaan mereka. Ia menggoyangkan pohon waru yang kekar itu agar daun-daunya yang berbentuk hati berguguran tepat diantara mereka. Matahari kekuningan yang menyembul dari awan sebelah barat, mengemaskan guguran daun waru dan wajah mereka yang sedang dimabuk cinta.
“ tapi mas, kita gak bisa bersama mas. “
“ Loh, kenapa gak bisa Tun? “
“ apa Mas lupa kalau di desa ini ada hukum yang masih berlaku? “
“ tapi Tun,, hatiku sudah penuh terisi denganmu Tun. Dengan matamu, senyummu dan semua tentangmu. “
“ Atun gak mau jadi anak durhaka Mas. Atun mau mengabdi sama orangtua Atun saja. “
“ jadi, Atun gak mau sama Mas Karyo? “
“ saya mau sekali. Tapi sekali lagi Atun gak mau buat Enyak marah mas. “
“ ya sudah Tun. Tapi ingat, aku akan selalu mencintaimu. Dan aku akan berusaha semampuku.”
“ saya tunggu mas. “
Mereka saling melepaskan jemari dan saat Atun beranjak pergi, tangan Karyo menarik Atun dengan keras dan menyebabkan bahu mereka bertabrakan dan saling memeluk. Cukup sepuluh detik, lalu mereka pulang dalam kebisuan.
Atun bingung, apakah ia harus senang karena ternyata Karyo juga mencintainya ataukah ia harus bersedih hati karena ternyata ia tidak bisa bersatu dengan Karyo. Bingung. Begitupun dengan Karyo.
Hukum adat mengatakan bahwa dua orang dapat dipersatukan kalau mereka sama-sama lahir pada weton yang sama. Selain itu, antara kedua orang tuanya harus saling memercayai dan dapat menjadi penanggung jawab.
Bebarapa hari terakhir, orang tua Atun terlihat begitu sibuk. Tak ada yang tau apa yang menyibukkan mereka. Sesekali mereka berkasak-kusuk dan perdebatan-perdebatan kecil sering muncul.
Hari itu, orang tua Atun mengadakan sebuah syukuran kecil. Saat Atun bertanya tentang maksud syukuran itu, orang tuanya hanya tersenyum. Saat acara berlangsung, ia baru mengerti kalau acara itu adalah pengumuman calon suami Atun. Disaat-saat seperti inilah ia hanya menginginkan Karyo. Karyo yang dicintai dan mencintainya. Atun tak kuasa mendengar calon laki-laki pendamping hidupnya. Saat pengumuman akan berlangsung, ia berlari sekuat tenaga menuju sawah tempat ia dan Karyo mengutarakan cinta, berharap Karyo ada disana dan bisa menenangkannya. Ternyata Karyo memang berada di tempat yang sama. Anehnya, mereka punya masalah yang sama bahwa pendamping hidup mereka telah ditentukan dan sebentar lagi akan ada ikatan yang dapat memisahkan mereka secara legal.
Hari pertunangan pun tiba, dua calon pengantin akan dipertemukan. Atun semakin tersiksa. Matanya sendu, senyumnya tak lagi semanis rekahan matahari pagi dan batinnya selalu saja ingin menolak takdirnya, tapi ia tak ingin melukai siapapun. Sejak semalam, ia mengurung diri dikamar dengan alasan ia ingin memantapkan diri sebelum ia terikat nanti. Ia merasa bagaikan robot yang semuanya dapat diatur atas nama adat. Ia benci ini.
begitu masuk acara inti, tangannya kian mendingin. sebuah cincin sudah masuk dalam jemari manisnya, namun ia masih saja tak kuasa mendongak melihat calon suaminya. Bahkan saat Atun harus memasukkan cincin ke tangan pria itu, ia terlihat masih ragu.
“ tolong pasangkan cincin itu ke jari manisku. “
Hatinya makin bergejolak, seakan-akan ia mendengar Karyo berbicara padanya. Meminta cincin itu. Ia tak mungkin kabur, karena itu akan semakin membuat malu keluarganya. Ia bingung, sangat bingung.
“ ini Mas Karyo, lihatlah. Dan pasangkan cincin itu. “
Atun mendongakkan kepalanya, dan melihat sosok siluet pria di sawah yang pernah meremas jemarinya. Refleks, ia memeluk pria itu. Menyusupkan kepalanya ke dalam kehangatan dada bidang calon tunangannya.
“ ayolah Tun, cincin itu ditunggu banyak orang. “
Tanpa kata-kata, Atun langsung mendesakkan cincin itu ke dalam jari manis pria tercintanya. Sebuah kecupan mendarat di kening Atun. Merah, kawan. Wajah Atun kian memerah bersama merahnya cinta mereka yang kian hari kian membara.
Langganan:
Postingan (Atom)