Matahari bersemu merah di ufuk timur. Menambah manis senyum atun yang memang sudah manis dari orok. Tirai jendela terbuka, menandakan adanya kehidupan bagi sang pemilik. Jemari indah bergerak dengan gaya gemulai namun cekatan mengambil kain berbulu, dan bersiap membersihkan badan. Aroma sabun bunga lili menempel pada tubuhnya, ia terlihat segar dan siap melanjutkan harinya. Tangannya sibuk menyapukan bedak ke wajah, dan bersiap menuju tempat kursus. Atun pun pamit dan menapakkan kakinya di jalanan berbatu sambil sesekali tersenyum ramah pada orang-orang yang mengenalnya.
Sementara itu, Karyo seorang petani yang tengah menuai banyak rezeki akibat melambungnya harga beras sedang sibuk menyiapkan peralatan bersawahnya. Ia memang tergolong pemuda yang ulet dan senang bekerja keras. Sudah sejak lama ia menaruh hati pada Atun tapi ia tidak sedikitpun mempunyai keberanian untuk mengatakannya karena menurut adat, hal percintaan masih dianggap tabu.
Setiap bertemu Atun, kaki Karyo selalu lemas jantungnya berdetak dua kali lebih cepat, suhu tubuhnya naik, kontras dengan telapak tangan dan kakinya yang cenderung dingin. Begitu juga dengan Atun, tapi ia sedikit lebih bisa menguasai dirinya dengan cara menundukkan pandangannya.
Mungkin hukum adat masih ragu terhadap perasaan mereka. Bukan Dewi Amor yang menguasai percintaan di desa ini. Adat, kawan. Ya, hanya hukum adat yang dapat menyatukan dua individu heterogen meskipun mereka tak saling mencintai. Witing tresno jalaran soko kulino. Itulah pedoman mereka.
Matahari mendaki langit hingga berada sejajar dengan ubun-ubun manusia. Atun meninggalkan tempat kursus dan berjalan gontai menuju ke kediamannya. Ia sempat memergoki Karyo yang sedang berjalan meninggalkan serambi rumahnya. Begitu menyadari kehadiran Karyo, Atun langsung menundukan pandangan dan ia hanya bisa menikmati kaki-kaki jenjang Karyo yang diam ditempat. Atun langsung masuk rumah.
“ Tun,, dateng-dateng kok mukanya merah. Kenapa tun? “ tanya Mak Nyak
“ anu Nyak, tadi di jalan panas banget. Muka Atun kena matahari Nyak.”
“ kena panas kok merah Tun.. tun.. “
“ ya udahlah Nyak, Atun mau ganti baju dulu”
“ eh.. Tun. Jangan ganti baju dulu. tolong dong anterin ini ke sawah “
“ bungkusan apa nih Mak? “
“ itu sabit sama camilan buat engkong, pokoknya anterin ini ke sawah ya”
“ ya udah dehh. Atun pamit dulu deh Nyak.“
“ ati-ati Tun. “
Atun meninggalkan rumahnya dan bergerak menuju sawah engkongnya. Jarak antara rumah dan sawah lumayan jauh, hampir satu kilometer. Biasanya Atun naik sepeda jika disuruh Mak Nyak, tapi hari ini Atun terlalu bahagia sejak pertemuannya dengan karyo tadi siang dan jarak yang lumayan jauh itupun dianggap dekat saja olehnya.
Daun-daun yang mengering serasa bersemi kembali, udara yang panas itu malah dianggapnya sebagai kehangatan yang menyelimuti hati. Atun kasmaran. Lagu-lagu cinta keluar begitu saja dari mulut Atun. Semut merah yang menggigit kaki Atun pun malah diambil dan dibelai-belai. Tak tanggung-tanggung, ia memasukkan semut ke dalam sakunya untuk bisa ia rawat begitu sampai dirumah. Itulah cinta.
Atun sengaja memilih jalan yang berada di samping sawah supaya ia bisa menggoda Engkong yang biasanya duduk-duduk di kursi dari bambu dibawah teduhnya pohon waru yang menghiasi pinggiran sawah. Atun mencari-cari sosok manusia bertuan di daerah itu, nihil. Diujung matanya, ia melihat sesosok siluet manusia yang sedang duduk melepas penat. Kakinya terdorong untuk mendekat seakan-akan ia adalah kutub selatan dan siluet itu adalah kutub utara. Cepat dan semakin cepat langkahnya, berbanding lurus dengan kekuatan tarikan antar kutub magnet. Sesosok siluet itu menunduk.
“ kong, nih bungkusan dari Enyak. “
Sosok itu tak menjawab, tapi ia malah mendongakkan kepalanya. Ces, setetes embun jatuh dihati mereka saat kedua pandangan mereka beradu. Pandangan mereka bertahan hampir satu menit dalam kebisuan kata dan gesekan pohon waru yang melatar belakanginya.
“ em,, “ kata mereka bersamaan
“ mas karyo dulu. “
“ eng,, Atun duluan aja. “
“ ya udah, Engkong dimana ya mas? “
“ Engkong udah balik dari tadi Tun. Emang ada apa Tun? “
“ oh, ini ada bungkusan dari Enyak. Kata Enyak isinya sabit dan ada sedikit camilan buat Engkong”
“ sabit?? Itu sabit aku Tun. “
“ oh ini sabit Mas Karyo toh. Ya udah mas,ini sabitnya. Atun mau balik dulu kalau gitu”
“ iya.” Jawab Karyo seadanya akibat otaknya yang masih lemas sejak kedatangan Atun. “ Tun, tadi kan kamu sudah ngomong, sekarang gantian saya yang ngomong. Dengerin ya!! “ Atun hanya bisa diam membisu dan akhirnya menganggukkan kepala, sementara tangan Karyo mulai bergerak melambat dan berasil menggenggam jemari Atun lalu menggiringnya mendekat. “ Tun, sudah sejak lama aku memerhatikan kamu. Dan selama itu, aku sadar satu hal kalau aku,, aku,, tresno marang awakmu tun. “
“ artinya apa Mas? “
“ aku.. aku.. cinta sama kamu tun. Kamu gimana? Ada rasa gak sama aku? “
“ ehm,, aku, sebetulnya aku juga punya rasa sama Mas Karyo. “
Entah angin darimana, yang jelas angin itu seakan merestui percintaan mereka. Ia menggoyangkan pohon waru yang kekar itu agar daun-daunya yang berbentuk hati berguguran tepat diantara mereka. Matahari kekuningan yang menyembul dari awan sebelah barat, mengemaskan guguran daun waru dan wajah mereka yang sedang dimabuk cinta.
“ tapi mas, kita gak bisa bersama mas. “
“ Loh, kenapa gak bisa Tun? “
“ apa Mas lupa kalau di desa ini ada hukum yang masih berlaku? “
“ tapi Tun,, hatiku sudah penuh terisi denganmu Tun. Dengan matamu, senyummu dan semua tentangmu. “
“ Atun gak mau jadi anak durhaka Mas. Atun mau mengabdi sama orangtua Atun saja. “
“ jadi, Atun gak mau sama Mas Karyo? “
“ saya mau sekali. Tapi sekali lagi Atun gak mau buat Enyak marah mas. “
“ ya sudah Tun. Tapi ingat, aku akan selalu mencintaimu. Dan aku akan berusaha semampuku.”
“ saya tunggu mas. “
Mereka saling melepaskan jemari dan saat Atun beranjak pergi, tangan Karyo menarik Atun dengan keras dan menyebabkan bahu mereka bertabrakan dan saling memeluk. Cukup sepuluh detik, lalu mereka pulang dalam kebisuan.
Atun bingung, apakah ia harus senang karena ternyata Karyo juga mencintainya ataukah ia harus bersedih hati karena ternyata ia tidak bisa bersatu dengan Karyo. Bingung. Begitupun dengan Karyo.
Hukum adat mengatakan bahwa dua orang dapat dipersatukan kalau mereka sama-sama lahir pada weton yang sama. Selain itu, antara kedua orang tuanya harus saling memercayai dan dapat menjadi penanggung jawab.
Bebarapa hari terakhir, orang tua Atun terlihat begitu sibuk. Tak ada yang tau apa yang menyibukkan mereka. Sesekali mereka berkasak-kusuk dan perdebatan-perdebatan kecil sering muncul.
Hari itu, orang tua Atun mengadakan sebuah syukuran kecil. Saat Atun bertanya tentang maksud syukuran itu, orang tuanya hanya tersenyum. Saat acara berlangsung, ia baru mengerti kalau acara itu adalah pengumuman calon suami Atun. Disaat-saat seperti inilah ia hanya menginginkan Karyo. Karyo yang dicintai dan mencintainya. Atun tak kuasa mendengar calon laki-laki pendamping hidupnya. Saat pengumuman akan berlangsung, ia berlari sekuat tenaga menuju sawah tempat ia dan Karyo mengutarakan cinta, berharap Karyo ada disana dan bisa menenangkannya. Ternyata Karyo memang berada di tempat yang sama. Anehnya, mereka punya masalah yang sama bahwa pendamping hidup mereka telah ditentukan dan sebentar lagi akan ada ikatan yang dapat memisahkan mereka secara legal.
Hari pertunangan pun tiba, dua calon pengantin akan dipertemukan. Atun semakin tersiksa. Matanya sendu, senyumnya tak lagi semanis rekahan matahari pagi dan batinnya selalu saja ingin menolak takdirnya, tapi ia tak ingin melukai siapapun. Sejak semalam, ia mengurung diri dikamar dengan alasan ia ingin memantapkan diri sebelum ia terikat nanti. Ia merasa bagaikan robot yang semuanya dapat diatur atas nama adat. Ia benci ini.
begitu masuk acara inti, tangannya kian mendingin. sebuah cincin sudah masuk dalam jemari manisnya, namun ia masih saja tak kuasa mendongak melihat calon suaminya. Bahkan saat Atun harus memasukkan cincin ke tangan pria itu, ia terlihat masih ragu.
“ tolong pasangkan cincin itu ke jari manisku. “
Hatinya makin bergejolak, seakan-akan ia mendengar Karyo berbicara padanya. Meminta cincin itu. Ia tak mungkin kabur, karena itu akan semakin membuat malu keluarganya. Ia bingung, sangat bingung.
“ ini Mas Karyo, lihatlah. Dan pasangkan cincin itu. “
Atun mendongakkan kepalanya, dan melihat sosok siluet pria di sawah yang pernah meremas jemarinya. Refleks, ia memeluk pria itu. Menyusupkan kepalanya ke dalam kehangatan dada bidang calon tunangannya.
“ ayolah Tun, cincin itu ditunggu banyak orang. “
Tanpa kata-kata, Atun langsung mendesakkan cincin itu ke dalam jari manis pria tercintanya. Sebuah kecupan mendarat di kening Atun. Merah, kawan. Wajah Atun kian memerah bersama merahnya cinta mereka yang kian hari kian membara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar