Pages

Jumat, 30 April 2010

Menengok Perajin Gerabah di Bojonegoro

warisan Nenek Moyang Mulai Ditinggalkan, Hanya Menyisakan 50 Perajin

Profesi sebagai perajin gerabah, sekian tahun semakin susut. Padahal, di Dusun Karuk Desa Rendeng Kecamatan Malo terkenal dengan pemukiman kerajinan gerabah. Kendati perajinnya susut, tetapi hasil pemasaran masih dibutuhkan beberapa kota di Jawa. Kini, warga setempat masih memertahankan, karena sebagai lapang penghasilan.

Memakan waktu sekitar 45 menit dari pusat kota Bojonegoro, Dusun Karuk Desa Rendeng Kecamatan Malo dapat dilihat. Letaknya berada di pinggiran aliran Sungai Bengawan Solo, serta ditopang dataran tinggi yang menggunung penuh dengan hamparan pohon jati.
Dari kecamatan Malo jaraknya satu meter. Tetapi untuk menemukan pusat penghasil gerabah ini harus bersabar. Sebab, kondisi jalannya belum terkena olesan aspal atau hanya bebatuan. Sehingga saat melewatinya, hamburan debu membuat suasana tidak nyaman, terutama untuk penglihatan.

Jalan yang lebarnya hanya lima meter ini di ruas kanan dan kiri terdapat rumah Joglo khas Jawa berjejer. Dari sudut rumah, terdapat beberapa laki-laki dan wanita berada di pelataran sembari memegang patung hewan. Terdapat orang sibuk meliuk-liuk patung dengan diolesi menggunakan kuas untuk dihias. Satu orang memegang kuas cat hitam, ada juga yang mengolesi cat merah. Namun, ada juga yang sibuk memperbaiki beberapa bentuk patung hewan yang rusak.

Desa Rendeng merupakan penghasil gerabah motif celengan (tempat menaruh uang,red) bukan yang lain. Dengan bentuk patung hewan seperti, gajah; Bebek; harimau; Zebra; dan kucing. Ukurannya juga hampir sepadan dengan bentuk aslinya. Namun, untuk Gajah dan Zebra ukurannya lebih kecil daripada hewan aslinya.

Dulu desa tersebut terkenal dengan sentra gerabah, namun lambat laun profesi kerajinan ini mulai ditinggalkan. ‘’Dulu hampir semua rumah berprofesi sebagai perajin gerabah, namun kini hanya menyisakan sekitar 50 perajin,” kata Sarmidi, 40, salah satu perajin gerabah di desa tersebut.

Menurut pria berkumis ini, kerajinan gerabah di desa tersebut merupakan peninggalan dari nenek moyang. Bahkan dirinya tidak mengetahui sejak kapan kerajinan gerabah ini mulai dilakukan. Sebab, dirinya belum sampai usia 10 tahun sudah memeras dan memijat tanah liat untuk dibentuk gerabah. ‘’Kalau kepastian tahun pasti tidak tahu, yang pasti buyut saya sudah berprofesi sebagai perajin gerabah,” katanya sembari mengecat gerabah dengan cat hitam saat ditemui di depan rumahnya.

Sarmidi menjelaskan atas teknis pembuatan gerabah ini, mulai dari proses pembuatannya yang bercampur dengan tanah liat dengan pasir dan air. Serta saat membentuknya, mengeringkan, membakarnya, dan terakhir menghiasnya. Untuk mempercantik gerabah tersebut dapat dicat warna-warni, dianyam, dan dilukis. ‘’Walau tanpa semen, tapi tanah liat ini dapat dibentuk,” ungkapnya.

Lanjutnya, karena peninggalan nenek moyang, otomatis kerajinan gerabah menjadi tulang punggung masyarakat di dua Dusun yakni Karuk dan Rendeng.


Iskak, 45, pemilik usaha Gerabah di Desa Rendeng mengungkapkan, kini perajin gerabah hanya menyisakan di dusun Karuk. Padahal, dulunya di dusun/Desa Rendeng juga banyak. ‘’Menurunnya jumlah perajin karena penghasilan tipis, dan tergiur kerja di kota besar,” tambahnya. Lanjutnya, belum lagi banyaknya produsen pembuat celengan yang terbuat dari bahan kimia.

Kendati mulai banyak ditinggalkan warga, tetapi desa tersebut masih menjadi pusat gerabah bentuk celengan. Sebab, dari desa yang tandus ini juga menyuplai permintaan gerabah hingga luar kota. ‘’Kalau saya sebulan dua kali menyuplai ke Pasuruan, Probolinggo, Bondowoso hingga ke Banyuwangi,” kata Iskak.
Menurutnya, dirinya pernah menyuplai hingga ke Bali. Tetapi karena terkena isu bom di pulau dewata tersebut, akhirnya permintaannya redup. ‘’Intinya semua kota di Jatim disuplai dari Bojonegoro, bahkan ada perajin lain yang mengirim hingga ke Jateng dan Jabar,’ tambahnya.

Menurut Iskak, gerabah ini beragam harganya tergantung ukurannya. ‘’Untuk gerabah yang tingginya hingga 60 centimeter harga pasarannya mencapai Rp 75 ribu, dan terkecil dengan harga Rp 15 ribu,” kata pria asli desa tersebut.
Iskak menegaskan, kendati mulai menurun jumlah perajin, tetapi dirinya optimis untuk tetap memertahankannya. Sebab, semenjak duduk di tingkat SD hingga saat ini, kerajinan gerabah menjadi tulang punggungnya. Bahkan atas usahanya mampu memperkerjakan lima orang perajin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar